Perhiasan, siapa perempuan yang tidak suka? Bagi kaum hawa, perhiasan adalah sarana mempercantik diri. Nah, yang sedang menjadi tren saat ini adalah perhiasan berbahan perak yang dilapisi krom (chrome) atau sepuh emas putih. “Murah, tapi tampilan tak kalah dibandingkan dengan perhiasan emas putih. Murah tapi tidak murahan. Yang penting bisa gaya,” ujar Rodiah, salah seorang pengunjung toko perak di Plaza Pondok Gede, Bekasi.
Perhiasan perak sepuh emas putih ini memang sangat terjangkau isi dompet. Harga rata-rata Rp 25.000–Rp 30.000 per gram, beda jauh dengan harga perhiasan emas yang mencapai Rp 275.000–Rp 300.000 per gram. “Ini memang menjadi alternatif perhiasan bagi konsumen. Tak heran kalau sekarang perhiasan ini kian tren,” ujar Lily, pemilik Toko Perak di Plaza Pondok Gede.
Karena sedang jadi tren, sejak setahun lalu Lily membuka toko perak lapis krom. Sebelumnya, Lily sudah berbisnis perhiasan emas.
Perhiasan perak berlapis sepuh emas putih makin digemari bukan cuma lantaran harganya murah, tapi juga karena boleh dijual kembali kepada toko atau tukar tambah. Ini berbeda dengan perhiasan lain yang terbuat dari tembaga, plastik, batu-batuan, atau monel yang tidak bisa dijual kembali. “Meski begitu, perak lapis emas putih ini hanya untuk gaya-gayaan, bukan barang investasi,” imbuh Lily, mengingatkan.
Maklum, potongan harga saat dijual kembali atau ditukar tambah cukup besar, yakni Rp 9.000 per gram. Tukar tambah atau penjualan kembali hanya bisa dilakukan di toko asal perhiasan dibeli. Jadi, seperti emas, nota pembelian tidak boleh hilang.
Model perhiasan yang beragam menambah daya tarik perhiasan sepuh emas putih ini. Jenis perhiasan pun komplet: cincin, kalung, anting, liontin, gelang kaki, gelang tangan, sampai bros. Menurut Susilo, pemilik Toko Fidusia Silver, model perhiasan perak sepuh emas putih ini lebih beragam dibandingkan perhiasan perhiasan emas. Pergerakan desainnya pun lebih cepat. Inilah yang membuat gerainya tak pernah sepi pengunjung.
Ceruk Pasar Perhiasan Perak Memang Besar
Tren perhiasan perak sepuh emas putih ini mendorong Edi Susanto menjajal usaha ini. “Mulanya tidak sengaja. Ada distributor perhiasan yang menawarkan. Ya, kami pun mencobanya,” ujar Edi, pengelola Toko Elite Silver di ITC Permata Hijau, Jakarta.
Harga emas yang terus melambung mungkin turut mendorong tren perhiasan berbahan perak sepuh emas putih ini berkembang.
Toko perhiasan perak ini memang menjamur akhir-akhir ini. Hampir di setiap pusat perbelanjaan sekelas ITC terdapat gerai atau outlet perhiasan perak. Misalnya, di Plaza Pondok Gede terdapat empat gerai perak berderet, sementara di Slipi Jaya ada tiga gerai. “Peminatnya cukup banyak, tak heran banyak orang mau menjajal bisnis ini, “ jelas Lily, yang kini memiliki dua kavling seluas masing-masing 1,5 m x 2 m.
Susilo lebih getol lagi menjalankan bisnis ini. Selama setahun terakhir sudah membuka 10 oultlet perak. Gerai tersebut tersebar di Jakarta, Serang, Cilegon, Bekasi, dan Karawang. “Perhiasan semacam ini ibarat baju bagi pemakainya, minimal satu minggu harus berganti model,” katanya.
Susilo mengaku membuka usaha ini di pusat perbelanjaan sekelas ITC karena memang segmen utama mereka adalah kelas menengah ke bawah. Dia berpikir, orang di segmen ini, kan, juga tak mau kalah gaya dari orang kaya yang dengan mudah belanja perhiasan.
Meski demikian, Lily mengungkapkan, ternyata banyak juga peminat perhiasan jenis ini berasal dari kalangan yang berduit. Edi pun mengakui, para pelanggannya kebanyakan karyawan kantoran. “Maklum, kalau di ITC Permata Hijau pe-ngunjungnya banyak orang kantoran,” katanya.
Meski harga miring, rezeki usaha perhiasan sepuhan ini berdiri kokoh. Lily mengaku, dalam sehari omzet dari dua kavlingnya bisa mencapai
Rp 7 juta. “Kalau ramai bisa mencapai Rp 8 juta sehari. Misalnya, menjelang Lebaran,” ujarnya. Itu berarti, dari dua gerainya, Lily bisa meraup omzet bulanan sekitar Rp 210 juta.
Adapun Susilo mengaku setiap gerai perak miliknya rata-rata menghasilkan omzet Rp 3 juta per hari. “Kalau di plaza ini, pengunjungnya memang setiap hari ramai. Apalagi kalau hari libur,” ujarnya. Jadi, dari setiap gerai, Susilo bisa memperoleh omzet sekitar Rp 90 juta per bulan. “Keuntungan bersih yang diperoleh sekitar 20%,” jelasnya.
Lily bercerita, sekali belanja, dia bisa menggelontorkan uang Rp 50 juta–Rp 70 juta. “Biasanya, sebulan bisa belanja dua kali. Jadi, ya, sampai ratusan juta,” katanya.
Harus beli putus, bukan titipan
Baik Lily maupun Susilo mengakui, untuk mendapatkan produk perhiasan ini mudah. Saat ini sudah banyak distributornya di Indonesia. Sebagai pemula, Anda bisa mencari informasi tentang distributor ini ke gerai-gerai yang sudah eksis. Jadi, Anda tidak perlu repot memikirkan desain dan memproduksinya.
Namun, harap Anda maklumi, para distributor tersebut tidak menjual barang secara konsinyasi. Semuanya harus beli putus. Andalah yang harus menanggung risiko jika barang yang sudah Anda beli tak laku.
Selain belanja barang dagangan, Anda juga harus menyiapkan perlengkapan toko, seperti kertas kuitansi, alat tulis, bahan sepuh, serta kantong pembungkus perhiasan. Berdasarkan pengalaman Lily, keperluan ini menghabiskan dana Rp 5 juta-an per bulan. Lantaran tokonya cukup besar dan ramai, Lily mempekerjakan lima orang karyawan. Adapun untuk sewa lokasi, saban bulan, Lily merogoh kocek sekitar Rp 10 juta untuk dua kavling.
Susilo bercerita, untuk memulai usaha ini sedikitnya harus menyiapkan dana Rp 120 juta hanya untuk belanja 6 kilogram (kg) perak. Harga brankas Rp 6 juta, biaya membuat etalase ukuran 1,2 m x 1,5 m ukuran U membutuhkan duit Rp 17 juta. Selain itu Anda perlu belanja perlengkapan gerai, seperti lighting box, alat sepuh, alat memperbaiki perhiasan, meja kursi, serta cairan penyepuh.
Selain modal besar, lokasi gerai sangat menentukan keberhasilan usaha ini. Sebaiknya Anda melakukan survei lokasi untuk melihat kepadatan pengunjung dan ragam barang yang dijual di lokasi incaran Anda.
Sulit mencari karyawan yang andal
Edi menilai, lokasi usahanya saat ini kurang menguntungkan karena pengunjung yang datang ke pusat perbelanjaan itu sepi. Alhasil, dalam sebulan dia hanya berhasil mengantongi omzet Rp 6 juta. Nilai belanjaannya pun sangat sedikit dibandingkan dengan toko perak milik Lily dan Susilo. “Untung saja, saya ambil sewa lokasinya hanya bulanan. Jadi tidak terikat selama tahunan,” jelasnya.
Pesannya, jika Anda belum yakin dengan prospek pasar dari lokasi usaha Anda, sebaiknya Anda memilih sistem sewa bulanan terlebih dahulu. Baru, setelah yakin, Anda bisa menyewa tahunan.
Anda juga harus jeli membaca selera pasar. Dengan demikian, konsumen akan menjadi pelanggan tetap. Ingat, seorang pelanggan akan sangat berarti. Tidak cuma mereka akan selalu membeli di tempat Anda, ia pun akan merekomendasikan kenalannya ke toko Anda. Sistem tukar tambah dan jual kembali bisa membantu terciptanya pelangan. Sebab, “Jual-beli hanya terjadi di toko yang sama,” jelas Susilo. Dia menegaskan bahwa bisnis ini adalah bisnis kepercayaan, jadi kepuasan pelanggan akan menjadi kunci kesuksesan.
Lily menambahkan, dalam jangka waktu seminggu sekali gerai Anda harus menampilkan perhiasan model terbaru. Itu bisa menjadi magnet bagi pelanggan untuk menambah koleksinya. “Asal konsumen suka modelnya, dia pasti akan beli. Entah tukar tambah atau beli tunai,” ujarnya. Dia juga menyarankan, meski jumlahnya sedikit, usahakan agar jenis perhiasan yang Anda jual komplet.
Satu hal lagi, transaksi penjualan atau cara dagang perhiasan perak ini hampir sama dengan bisnis perhiasan emas. Untuk itu, dibutuhkan seorang penjaga toko yang mengerti seluk-beluk perhiasan. “Ini, kan, perak murni yang disepuh dengan emas putih, perlakuan sama dengan perhiasan emas pada umumnya. Jadi, mesti memiliki karyawan yang mengerti bagaimana merawat perhiasan, dan untuk mencari karyawan semacam ini tidak mudah,” kata Susilo.
Susilo menyarankan, ada baiknya mencari karyawan yang punya pengalaman yang kerja di toko emas. “Saya sendiri harus memboyong anak-anak dari kampung saya di Kalimantan Barat untuk dijadikan karyawan,” katanya. Maklum saja, anak-anak muda di Kalimantan Barat sudah akrab dengan emas sejak dini. Meski demikian, Susilo mengaku tetap mengadakan semacam pelatihan atau pendampingan seputar perhiasan terhadap karyawannya.
Satu outlet ukuran 1,2 m x 1,5 m, menurut Susilo, membutuhkan karyawan sedikitnya tiga orang. Hal ini untuk mengantisipasi bila ada karyawan yang mendapat jatah libur. Untuk gaji bulanan karyawan, Susilo mengeluarkan sekitar Rp 1,5 juta–Rp 2 juta per orang.
Anda mungkin langsung tertarik mencoba bisnis perhiasan kelas dua ini? Kalau memang begitu, silakan saja, asalkan Anda tetap cermat berhitung sebelum memulai. Ingat, setiap bisnis selalu berisiko.
Sumber:
Kontan
jika ingin belajar membuat kerajinan / perhiasan perak bisa dimana ya ? (cincin, liontin, kalung,anting) ???
ReplyDelete